KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG
Abstract
Permasalahan hutan lindung Indonesia sudah sangat kritis, penurunan luas dan kerusakan hutan lindung sejak 1997 sampai 2002 dua kali lebih besar dari kerusakan hutan produksi. Melihat kondisi yang demikian, muncul beberapa pertanyaan mendasar, seperti sejauh mana kebijakan dan peraturan perundangan yang ada mendukung ke arah pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan? Adakah dampak kebijakan ini terhadap pengelolaan hutan lindung? Sudah tepatkah kebijakan dan peraturan perundangan yang ada sehingga mendukung ke arah tujuan dari peruntukkan kawasan hutan lindung tersebut? Kajian tentang kebijakan pengelolaan hutan lindung ini selain bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, juga bertujuan untuk mengkaji kebijakan dan peraturan perundangan terkini yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung. Secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur secara langsung maupun tidak langsung hutan lindung, mulai tingkat pusat sampai daerah, (ii) menelaah kebijakan dan peraturan perundangan, termasuk mengkaji konsistensi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, (iii) mengetahui kondisi hutan lindung saat ini, dan (iv) merekomendasikan kebijakan pengelolaan hutan lindung yang diperlukan untuk mencapai pembangunan hutan lindung yang berkelanjutan.
Hasil kajian terhadap 83 peraturan yang mengatur hutan lindung, menunjukkan masih belum jelas dan terarahnya kebijakan pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan. Walaupun berbagai perundangan mulai dari UU No. 41/1999, PP 44/2004, PP 34/2002, Keppres 32/1990 sudah secara jelas menyebutkan fungsi, peranan dan kriteria hutan lindung, serta bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan di atasnya. Tetapi perundangan yang sama masih mengijinkan perubahan penggunaan areal hutan lindung untuk kepentingan penggunaan di luar kehutanan, termasuk pertambangan tertutup. Sehingga keberadaan hutan lindung menurut peraturan perundangan masih dilematis. Secara lebih rinci persoalan dalam kebijakan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, masih terdapat perbedaan mendasar antar perundangan tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung. Kedua, adanya dualisme kebijakan pemerintah, dimana di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan lindung dan menetapkan aturan-aturan untuk melestarikannya, tapi di sisi lain membuka peluang kawasan hutan lindung tersebut untuk dieksploitasi. Ketiga, belum terlihatnya harmonisasi kebijakan yang dapat menjadi dasar dan acuan dalam pengelolaan hutan lindung di daerah. Keempat, adanya kebijakan yang overlapping dan membingungkan pelaksana lapangan. Kelima, kurangnya apresiasi pemerintah kabupaten terhadap fungsi ekologis dari hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan mencegah intrusi air laut. Keenam, tidak mengacunya kebijakan yang lebih rendah kepada peraturan yang berkaitan erat yang berada diatasnya. Penelitian ini menyarankan perlunya meningkatkan kebijakan terutama dalam hal : (i) mewujudkan persamaan persepsi tentang fungsi hutan lindung antar instansi yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung, dan (ii) kebijakan yang komprehensif, integrated, dan tidak overlapping.
Hasil kajian terhadap 83 peraturan yang mengatur hutan lindung, menunjukkan masih belum jelas dan terarahnya kebijakan pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan. Walaupun berbagai perundangan mulai dari UU No. 41/1999, PP 44/2004, PP 34/2002, Keppres 32/1990 sudah secara jelas menyebutkan fungsi, peranan dan kriteria hutan lindung, serta bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan di atasnya. Tetapi perundangan yang sama masih mengijinkan perubahan penggunaan areal hutan lindung untuk kepentingan penggunaan di luar kehutanan, termasuk pertambangan tertutup. Sehingga keberadaan hutan lindung menurut peraturan perundangan masih dilematis. Secara lebih rinci persoalan dalam kebijakan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, masih terdapat perbedaan mendasar antar perundangan tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung. Kedua, adanya dualisme kebijakan pemerintah, dimana di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan lindung dan menetapkan aturan-aturan untuk melestarikannya, tapi di sisi lain membuka peluang kawasan hutan lindung tersebut untuk dieksploitasi. Ketiga, belum terlihatnya harmonisasi kebijakan yang dapat menjadi dasar dan acuan dalam pengelolaan hutan lindung di daerah. Keempat, adanya kebijakan yang overlapping dan membingungkan pelaksana lapangan. Kelima, kurangnya apresiasi pemerintah kabupaten terhadap fungsi ekologis dari hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan mencegah intrusi air laut. Keenam, tidak mengacunya kebijakan yang lebih rendah kepada peraturan yang berkaitan erat yang berada diatasnya. Penelitian ini menyarankan perlunya meningkatkan kebijakan terutama dalam hal : (i) mewujudkan persamaan persepsi tentang fungsi hutan lindung antar instansi yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung, dan (ii) kebijakan yang komprehensif, integrated, dan tidak overlapping.
Keywords
Kebijakan, Peraturan perundangan, Instrumen Kebijakan, Hutan Lindung, Konsistensi dan Sinkronisasi, Reklamasi.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.20886/jpsek.2005.2.2.169-194
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2015 Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Indexed by:
...More
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan (JPSEK)
eISSN : 2502-4221 pISSN : 1979-6013
JPSEK is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.